Abdul Wahid bin Zaid berkata, "Ketika kami
sedang duduk-duduk di majelis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku,
karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada
seorang laki-laki membaca ayat, (artinya) ‘Sesungguhnya Allah membeli
dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.' (At-Taubah:
111). Aku menyambut, "Ya, kekasihku."
Laki-laki itu berkata, "Aku bersaksi
kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku
dengan harapan aku memperoleh Surga."
Aku menjawab, "Sesungguhnya ketajaman pedang
itu melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku
khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini."
Laki-laki itu berkata, "Wahai Abdul Wahid,
aku telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin
jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah." Dia berkata,
"Nampaknya aku memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang
kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami tidak?" Kemudian lelaki itu
menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan
sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di
medan perang dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat
tersebut. Dia berkata, "Assalamu 'alaika wahai Abdul
Wahid," Aku menjawab, "Wa'alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh,
alangkah beruntungnya perniagaan ini."
Kemudian kami berangkat menuju medan perang,
lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam
harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami
ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari,
tiba-tiba dia datang sambil berkata, "Betapa rindunya aku kepada bidadari
bermata jeli." Kawan-kawanku berkata, "Sepertinya laki-laki itu sudah
mulai linglung." Dia mendekati kami lalu berkata, "Wahai Abdul Wahid,
aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli."
Aku bertanya, "Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari
bermata jeli itu." Laki-laki itu menjawab, "Ketika itu aku sedang
tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata,
‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.' Seseorang dalam mimpiku itu
mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair
jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah
sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka
memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli
itu telah tiba.' Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah
di antara kalian ada bidadari bermata jeli?' Pelayan cantik itu menjawab,
‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan
terus!'
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku
tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya,
berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat
pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku
melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar
gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata
jeli.' Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada
bidadari bermata jeli?' Mereka menjawab, Waalaikassalam wahaiwaliyullah,
kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.'
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di
sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat
bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan
bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu
alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?' Mereka menjawab,
‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju
ke depan.'
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang
mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik
berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para
bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di
antara kalian ada bidadari bermata jeli?' Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman,
kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.'
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba
di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat
seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri
tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia
memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari
bermata jeli, suamimu datang!'
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk.
Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas,
bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu
dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir
tiba waktu kita bertemu.' Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata,
‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh
kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya
Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul
Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari
bermata jeli itu."
Abdul Wahid menuturkan, "Belum lagi
pembicaraan kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh
telah mulai menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu
juga lelaki itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung
jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu,
dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat
jenazahnya aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum
yang mengantarkan pada akhir hidupnya."
Sumber: 99 Kisah Orang Shalih,
Penerbit Darul Haq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar